Jumat, 23 Mei 2008

Memaknai Kebangkitan Nasional dan Reformasi

Dalam dua hari terakhir, yakni pada 20 dan 21 Mei 2008, bangsa Indonesia baru saja memeringati satu abad Kebangkitan Nasional, serta 10 tahun reformasi sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998 yang lalu.Dua momen penting dan bersejarah tersebut terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja oleh bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensi ini. Untuk itu, dalam balutan dua momen penting tersebut, perkenankan penulis untuk mengajak segenap elemen bangsa ini untuk merefleksi kembali makna Kebangkitan Nasional dan Reformasi, sehingga hakekat makna serta semangat Kebangkitan Nasional dan Reformasi tetap tertancap kuat dalam hati sanubari setiap individu masyarakat negeri ini.

Kebangkitan Nasional, yang dipelopori oleh gerakan Boedi Oetomo sejak tahun 1908, sejatinya mengajak segenap elemen bangsa untuk kembali menengok ke dalam diri sendiri, menggali potensi, menguak kedigdayaan yang dimiliki oleh bangsa ini untuk terlepas dari segala bentuk penindasan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan serta penistaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan oleh para penjajah.Bangsa ini telah lama terlelap dalam tidur panjangnya diserta serangkaian mimpi buruk tentang kegamangan hidup, ketidakpastian masa depan serta kekerdilan di bawah belenggu penjajahan.

Boedi Oetomo menggerakkan bangsa ini, membangunkannya dari tidur panjang untuk bangkit dan melawan segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan, sehingga bangsa ini terbebas dari penjajahan di segala sendi kehidupan.Ibarat kata pepatah, “Roma tidak dibangun dalam satu hari”. Ternyata perjuangan Boedi Oetomo membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menuai hasilnya. Karena, bangsa Indonesia baru benar-benar terbebas dari penjajah dan memroklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka 37 tahun kemudian, yakni pada 17 Agustus 1945. Sebuah penantian panjang yang melelahkan.

Semangat Nasionalisme
Apa sesungguhnya yang mendasari bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, bahasa dan budaya ini mampu melakukan perjuangan dalam kurun waktu yang begitu panjang?Jawaban yang sangat logis adalah adanya semangat nasionalisme yang tinggi dari segenap elemen bangsa. Sense of belonging, rasa memiliki sebuah bangsa menjadi landasan utama bagi perjuangan segenap masyarakat negeri ini.

Semangat nasionalisme ini menemukan pijakannya yang sangat kuat sejak dilangsungkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Ketika itu, komponen muda sebagai garda depan penggagas semangat nasionalisme ini mengukuhkan satu tekad bulat tanpa membedakan ragam suku, budaya maupun bahasa. Semua terangkum dalam satu kesatuan, yakni tekad menegakkan sebuah bangsa bernama Indonesia.Kenyataan inilah yang memompa semangat nasionalisme serta menggugah kesadaran setiap individu masyarakat negeri ini untuk berjuang bersama melawan penjajah. Kekompakan dan semangat kebersamaan ini pada gilirannya mengantarkan bangsa ini pada sebuah nikmat yang tiada tara, yakni kemerdekaan.

Era Reformasi
Kurang lebih setengah abad setelah bangsa ini merdeka, tepatnya pada 21 Mei 1998, Presiden kedua republik ini, Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun sejak dilantik pada tahun 1966, dilengserkan oleh komponen generasi muda yang dalam hal ini tergabung dalam gerakan mahasiswa angkatan ’98.

Gerakan mahasiswa beserta para tokoh reformasi menumbangkan rezim kekuasaan Orde Baru yang kental dengan nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Seperti halnya semangat nasionalisme pada kebangkitan nasional, semangat reformasi yang menghendaki adanya perubahan berusaha mengikis segala bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru selama tiga dasa warsa terakhir.Reformasi menghendaki sebuah kondisi yang lebih baik, mengandaikan sebuah negara yang bersih dari budaya KKN, menghapus segala bentuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kini, setelah sepuluh tahun reformasi bergulir, cita-cita untuk mewujudkan sebuah negara yang bersih dari KKN, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta menghargai hak-hak kemanusiaan masih belum terlihat jelas.Labilitas kondisi bangsa Indonesia masih terus berlanjut. Berbagai persoalan melingkupi hampir seluruh sendi kehidupan; sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan pelbagai sendi kehidupan lainnya yang semakin menambah panjang derita bangsa ini.Persoalan-persoalan sosial seperti kerusuhan, kriminalitas, pengangguran, perjudian dan prostitusi, serta berbagai masalah sosial lainnya menjadi pemandangan sehari-hari masyarakat negeri ini. Di bidang budaya, krisis moralitas semakin menggejala.

Pornoaksi dan pornografi merajalela. Kebebasan disalah artikan sehingga tidak jarang justru menjadi ‘kebablasan’. Nilai-nilai normatif, terlebih lagi nilai-nilai agama sudah tidak diindahkan.Kenyataan yang menyesakkan dada, bahkan yang sangat dirasakan oleh masyarakat negeri ini adalah berkaitan dengan masalah ekonomi. Melambungnya harga-harga kebutuhan pokok seiring naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), serta ulah para pejabat di pelbagai instansi pemerintah yang masih melanggengkan praktek korupsi semakin menyengsarakan rakyat banyak.

Di sisi lain, kehidupan politik pun setali tiga uang. Demi melanggengkan atau mencapai kekuasaan, segala hal dihalalkan. Adu jotos antaranggota dewan kerap mewarnai sejumlah sidang, tindakan represif aparat dengan menangkapi para demonstran yang, tidak jarang disertai dengan tindak kekerasan semakin menunjukkan sikap angkuh pemerintah, sekaligus membuka mata kita bahwa pemerintah belum dewasa dalam berpolitik.

Harapan terakhir bangsa ini disandarkan penegakan supremasi hukum. Ironisnya, hukum yang tujuannya untuk memberikan keadilan sosial untuk semua (social justice for all), saat ini justru dapat dieksploitasi sesuai dengan cita rasa kekuasaan. Para eksploitator dengan seenaknya menggunakan kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan mereka.Kondisi bangsa yang semakin terpuruk ini, hendaknya menggugah kesadaran pemerintah serta para pejabat negara untuk menata kembali niat suci reformasi yang sudah diselewengkan dari tujuan yang sesungguhnya.

Agenda reformasi berupa pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), perbaikan sistem ekonomi, penataan kembali sistem politik, serta penegakan supremasi hukum perlu segera dilaksanakan. Sehingga, makna suci reformasi yang telah mengalami pendistorsian dari makna yang sesungguhnya, dapat ditegakkan kembali sesuai dengan hakekat yang sesunguhnya.

Tidak ada komentar: